Menengok Sisi Adab dalam Fenomena 'Om Telolet Om'
Bismillah....
Kembali lagi bahas Om telolet Om,kenapa??, Awalnya tidak ingin menulis tentang ini karena saya pikir fenomena ini sudah redup atau hilang namun ternyata masih mewabah dan belum kunjung Redah.😧
Saat liburan akhir tahun kemarin kami sekeluarga berlibur disekitaran Jakarta Depok selama 2 hari. Dan ternyata masih banyak anak-anak dan remaja yang berada di trotoar bahkan di bahu jalan untuk meminta bunyi klakson dari setiap bus yang lewat.
Bahkan ada seorang anak kecil yang saya perkirakan antara kelas 4 atau 5 menggendong adeknya yang masih balita..ya Allah miris sekali kemana itu emaknya😥😥.
Belum lagi anak-anak remaja yang lebih nekad dengan berdiri di bahu jalan, sambil teriak-teriak minta bunyi klakson 'om telolet om' dan jika si supir bus tidak menanggapi, gerombolan remaja ini lansung menyuraki sambil bilang "cemeen cemeen huuu..".
Sontak saya lansung istighfar😱😭
Astagfirullah..kalimat istighfar ini justru yang banyak keluar dari mulut saya ketika melihat gerombolan anak-anak yang kena virus 'om telolet om' ini..
Miris sekali...jujur sebelumnya saya biasa-biasa saja dengan fonomena ini karena saya belum menyaksikan secara lansung, dan saya tidak minat melihat video-videonya di YouTube.
Yang membuat saya miris adalah hilangnya adab dari generasi muda bangsa ini, ya adab..lagi lagi adab..
Adab terhadap orang lebih tua, adab dalam berbicara, dan adab di jalan seolah tidak ada sama sekali..
Adalah yang perlu kita khawatirkan adalah waktu-waktu berharga generasi kita menguap dengan kesia-siaan, sebab terlena dengannya alamat tak baiknya agama seorang insan. Seperti dalam sabda Nabi riwayat Tirmidzi: “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tak bermanfaat baginya.” Atau sebenarnya, banyak hal baik bisa dilakukan di jalan. Ini pernah Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dialogkan dengan para sahabatnya, saat mereka bertembung di jalanan tempat lalu lalang;
“Janganlah kalian duduk-duduk di tepi jalanan”, para sahabat berkata: “Sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk berbincang-bincang”, Beliau berkata: “Jika kalian tidak bisa melainkan harus duduk-duduk, maka berilah hak jalan tersebut”, mereka bertanya: “Apa hak jalan tersebut wahai Rasulullah?”, Beliau menjawab: “menundukkan pandangan, tidak mengganggu orang yang lewat, menjawab salam, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Ini adalah salah satu hadist yang menjelaskan bagaimana harusnya adab kita di jalan.
Itulah kenapa Ruwaiyim seorang alim yang shalih berkata kepada anaknya : "wahai anakku, jadikanlah amalmu ibarat garam dan adabmu ibarat tepung. Yakni, perbanyaklah adab hingga perbandingan banyaknya seperti perbandingan tepung dan garam dalam suatu adonan. Banyak Adab dengan sedikit amal shalih lebih baik daripada amal dengan sedikit adab."
Maka seandainya energi kesia-siaan itu diarahkan pada adab-adab bermanfaat semisal hadits tadi, hasilnya akan mengesankan bukan… Seakan indahnya Islam tersyi’ar hingga di jalan-jalan.
Generasi yang jauh dari adab, melahirkan kesia-siaan yang menjamur. Tapi saat generasi meluhurkan adab, niscaya iman tumbuh kian subur.
Inilah diantara yang mewangikan generasi salaf dahulu, saat adab dijunjung lebih tinggi dari ilmu. Porsinya: adab dua pertiga ilmu. Maka jadilah adab itu panglimanya, memandu ilmu ke samudra kemuliaannya, menjadikan kemilau pemiliknya kian jelita.
Pas memang sore ini saya membaca kisah ini dari sebuah artikel..mari kita simak kisah yang memberi pelajaran mahal ini..
Adalah seorang penuntut ilmu sejati, yang tak kalah ataupun goyah dengan ketertarikan banyak orang; namanya Yahya ibn Yahya Al Laitsy. Pemuda negeri Andalus (Spanyol) –semoga Allah merahmatinya. Ia melakukan rihlah ‘ilmiyah yang panjang dari negeri asalnya ke Bumi Madinah Nabawiyah, negeri tempat seorang Imam Daarul Hijrah tinggal dan mengajar; Malik ibn Anas rahimahullahu ta’ala. Tatapannya ditujukan tak lain adalah agar ia bisa belajar dari ulama yang sangat termashur itu.
Suatu hari saat ia sedang belajar di majelis Imam Malik, datang kafilah musafir memasuki Madinah. Tiba-tiba seseorang berseru bahwa di luar ada gajah yang lewat. Mendengar sesuatu yang langka, semua murid Imam Malik sekonyong-konyong berhamburan keluar untuk menyaksikan, kecuali Yahya Al Laitsy.
Maka Imam Malik bertanya kepada Yahya; “Anakku, kenapa engkau tidak ikut keluar menyaksikan, bukankah gajah tidak ada di negeri Andalus?”
Yahya menjawab;
“Sesungguhnya aku datang dari kampungku untuk melihatmu dan belajar dari tuntunan dan ilmumu, bukan untuk melihat gajah!”
Mendengar jawaban itu, Imam Malik tertegun kagum. Dan sejak saat itu ia menggelarinya “Aqilu Andalus” (orang berakal/cerdas dari Andalus).
Aduhai, tingginya adab Yahya. Betapa ilmu adalah kecintaannya, sampai tontonan gajah yang mubah itu pun tak sanggup menggodanya untuk sekadar melihat barang sekejap. Yahya bukannya tak suka, tapi ia hanya lebih mengerti tentang apa yang lebih mulia bagi jiwanya. Sebab itulah ia menjadi cerdas!
Inilah adab yang jika ia tertanam baik di dada generasi, dayanya bekerja membentengi jiwa dari kuatnya gravitasi kesia-siaan. Merawat himmah, memelihara ‘izzah, tak rela menggadai waktu dengan harga yang murah. Maka diantara zaman yang berbeda, semenarik apapun gajah, seatraktif apapun bus-bus yang latah, selalu ada ‘Aqil bak permata di tiap generasi.
Iman Asy Syafi'i berkata : "Barang siapa yang ingin Allah membukakan hatinya atau memeranginya, hendaklah ia berkholwat(menyendiri), sedikit makan, meninggalkan pergaulan dengan orang-orang bodoh, dan membenci ahli ilmu yang tidak memiliki inshaf (sikap objektif) dan tidak memiliki adab."
Semoga Allah membimbing dan memberikan TaufikNya kepada kita untuk mendampingi generasi yang tertanam kuat adab dalam dirinya.
Allahu a'lam..
Ambi Ummu Salman
Depok,03012017
#Adabsebelumilmu
Komentar
Posting Komentar