Kepemimpinan Wanita dalam Rumah Tangga
Bismillah..
Rasulullah saw. bersabda,
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Dan seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR Al Bukhari ).
Penjelasan hadist:
🔑“Dan seorang wanita adalah pemimpin”. Penggalan hadits ini menegaskan bahwa wanita berhak menjadi seorang pemimpin dan tidak harus selalu berada di belakang sebagai obyek kepemimpinan. Hal itu karena wanita juga memiliki potensi kepemimpinan sebagaimana yang dimiliki kaum lelaki meski dengan porsi yang berbeda. Rasulullah saw. bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
🔑“Dan seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya”. Penggalan hadits ini menunjukkan bahwa wilayah kepemimpinan wanita adalah rumah tangga yang dibangun bersama suaminya. Hal ini tidak menafikan kepemimpinan seorang wanita di luar rumah selama ia memenuhi syarat-syaratnya. Imam Ibnu Hajar berkata, “Kepemimpinan wanita dibatasi dengan “rumah” karena pada umumnya wanita tidak dapat berkiprah di luar rumah kecuali dengan izin khusus.” (Fathul Bari/5/181).
Wanita dapat berkerja diluar dengan syarat :
1. Mendapat izin dari suaminya
“Tidak boleh bagi seorang wanita keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin dari suaminya,” (HR Ath Thabrani)
2. Tidak melalaikan tugas-tugas kepemimpinan dalam rumah
Karena tugas-tugas kepemimpinan di rumah hukumnya adalah wajib sedang kepemimpinan di luar rumah adalah ja’iz (boleh). Tentu saja sesuatu yang ja’iz tidak boleh mengalahkan yang wajib.
3. Memiliki keahlian dan kelayakan untuk mengemban amanah kepemimpinan yang dibebankan kepadanya.
Berkarir karena keahlian yang dimiliki, sebagai aktuliasai diri bukan untuk memenuhi ego pribadi.
4. Mencari karir yang sesuai dengan skala prioritas.
Disesuaikan dengan kondisi keluarga serta visi dan misi keluarga.
5. Tidak mengemban amanat kepemimpinan yang secara khusus menjadi hak kaum laki-laki.
Terlepas dari khilaf yang ada, sepatutnya wanita tidak mengemban amanah kepemimpinan yang menurut mayoritas ulama menjadi hak kaum laki-laki. Di antaranya adalah kepala negara. Diriwayatkan bahwa ketika mendengar berita pengangkatan anak putri Kisra sebagai pemimpin negara Parsi sepeninggal ayahnya, Rasulullah saw. bersabda,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً (رواه البخاري)
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin mereka.” (HR Al Bukhari
6. Tetap dalam koridor syari'ah
🔑“Dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya“. Penggalan hadits ini menunjukkan bahwa seorang wanita akan dimintai tanggung jawab atas kepemimpinannya di rumah suaminya. Sedangkan obyek kepemimpinan yang menjadi tanggung jawab wanita meliputi dua aspek: semua anggota keluarga dan urusan internal rumah tangga.
Allahu a'lam..
Ambi Ummu Salman,
Depok,111016
Komentar
Posting Komentar